PADANG, SuaraRantau.Com–Komitmen kuat Bangsa Indonesia dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak khususnya bidang pendidikan ditegaskan dalam Pasal 28C Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.
Sistem Pendidikan Nasional yang menekankan pendidikan bertujuan untuk pengembangan kepribadian, bakat, kemampuan mental dan fisik sehingga mencapai potensi sepenuhnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) dr. Herlin Sridiani, M.Kes mengatakan, Satuan Pendidikan Sekolah Ramah Anak (SRA) lahir dari dua hal besar.
Yaitu adanya amanat yang harus diselenggarakan negara untuk memenuhi hak anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia tahun 1990. Juga adanya tuntutan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Program SRA dilatarbelakangi adanya proses pendidikan yang masih menjadikan anak sebagai obyek dan guru sebagai pihak yang selalu benar serta banyaknya kejadian bullying di sekolah/madrasah,” terang dr Herlin saat pembukaan sosialisasi SRA, di Aula SMA 1 Koto Baru Kabupaten Dharmasraya beberapa waktu lalu.
Herlin mengungkapkan, berdasarkan data KPAI tentang kasus kekerasan baik fisik, psikis, seksual dan penelantaran terhadap anak sebanyak 10 persen dilakukan oleh guru.
Bentuk-bentuk kekerasan yang banyak ditemukan berupa pelecehan (bullying) serta bentuk-bentuk hukuman yang tidak mendidik bagi peserta didik. Seperti mencubit sebanyak 504 kasus, membentak dengan suara keras (357 kasus) dan menjewer (379 kasus).
“Kekhawatiran orang tua dan masyarakat akan maraknya kasus kekerasan, keracunan pada anak sekolah yang disebabkan jajanan tercemar zat-zat membahayakan, kasus anak korban karena sarana prasarana tidak kokoh dan banyak anak merasakan bersekolah, tidak selalu menjadi pengalaman yang menyenangkan,” ungkapnya.
Selain itu kekerasan pada anak juga rawan terjadi, karena 55 persen orang tua memberikan akses kepada anak terhadap kepemilikan handphone dan internet.