“Melalui revisi UU Pemda ini, DPD RI sebagai perwakilan daerah terus memperjuangkan aspirasi daerah untuk mewujudkan pengembangan dan kemandirian daerah, demi terwujudnya demokrasi lokal, kemandirian daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah, ” ujar Fachrul Razi.
Muatan lainnya yang turut dibahas adalah tentang kelembagaan dan status Satpol PP dan Camat dalam UU Pemda eksisting. Menurut Senator Razi, Satpol PP memiliki fungsi yang sangat menentukan penegakan ketertiban umum, peraturan dan regulasi daerah. Sebagai ujung tombak penegakan hukum daerah, Satpol PP organ pemerintah yang sering berhadapan langsung dengan peristiwa konkrit di masyarakat.
Bahkan, tidak jarang harus bergesekan dengan masyarakat demi tegaknya hukum di daerah. “Namun demikian, dengan fungsi strategis itu, perhatian dari pemerintah terlihat minim. Bahkan, arah kebijakan hukum pemerintah cenderung kurang berpihak kepada Satpol PP, khususnya terkait status kepegawaian, ” tambahnya.
Seiring dengan terbitnya Keputusan Menpan RB Nomor 11 Tahun 2024 tentang Jabatan Pelaksana Aparatur Sipil Negara, terdapat indikasi status Satpol PP honorer akan dikonversi menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).
Padahal, Pasal 256 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda menghendaki status kepegawaian Satpol PP adalah sebagai jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Senator dari Provinsi Aceh ini melanjutkan, sikap Komite I jelas, yaitu tidak setuju dengan alih status Satpol PP menjadi P3K. Pertama, karena secara terang-terangan melanggar UU Pemda Pasal 256. Melanggar UU Pemda berarti melanggar konstitusi, dan melanggar konstitusi sama saja melanggar Pancasila.
Kedua, dengan melihat sifat, beban dan risiko kerja Satpol PP, maka sudah semestinya terhadap 90 ribu Satpol PP saat ini diberikan status PNS yang memiliki kesejahteraan lebih baik daripada P3K, terlepas dari kedua-duanya digolongkan sebagai ASN. Posisi Satpol PP sangat strategis dan layak diperjuangkan menjadi PNS dengan sebuah filosofi Satpol PP adalah manusia yang perlu dimanusiakan.